Sabtu, 12 April 2025

Surat untuk ibu

Bu, saya memohon ijinmu, memohon restumu, lahir batin, untuk menikah dengan anak lelakimu. Saya yakin jika ibu membaca permulaan surat ini pasti akan merasa heran, ada apa?
Saya dan anak lelakimu telah menikah kurang lebih 2 tahun ini, namun saya merasa restu itu, yang awalnya restu tanpa syarat menjadi restu bersyarat yang perlahan restu itu hilang. 

Ijinkan aku bercerita dari awal pernikahan kami, tanggal 14 September 2017. Orangtua saya, diawal pernikahan menitipkan tabungan sebesar Rp 33.000.000, yang niat bapak waktu itu sebagai tabungan saya saat nanti mulai hidup di rumah ibu mertua. Dari uang tersebut, sbesar Rp. 6.000.000 kita gunakan untuk membeli tempat tidur dan lemari yang kami taruh du rumah Karangploso. Sisany sebesar Rp 27.000.000 digunakan untuk pembayaran uang DP pembelian Mobil. Iya, saat itu tentu saya juga meminta ijin ke bapak, karena memang sesungguhnya uang itu hanya titipan, bapak mengijinkan dengan harapan mobil itu nantinya bisa digunakan untuk kerja suami saya. 

disini, permohonan maaf pertama saya sampaikan ke ibu, mohon maaf jika diawal saya atau anak lelaki ibu melangkahi keputusan ibu, atau masukan ibu mengenai pembelian mobil. Memang saya akui pengambilan keputusan itu terburu2 dan saya terlalu mempercayai suami saya, anak lelaki ibu, bahwa dia akan bertanggung jawab atas pembelian mobil itu. Saya pribadi juga berharap suami saya akan bisa memanfaatkan itu sebagai usaha pribadi, pekerjaan yang jelas yang bisa menopang jalannya keluarga baru ini. Namun semua tidak berjalan seperti yang di harapkan di awal. Karena itu saya memohon maaf, ibu benar, andai saja diawal saya lebih mendengarkan ibu. 

Saya sendiri waktu itu, di bulan Desember, 2 bulan setelah pembelian mobil,  sudah menyarankan untuk menjual mobil itu, karena selama dua bulan pertama sudah keluar dari perhitungan awal, dan uang gaji saya digunakan untuk pembayaran angsuran mobil. Namun suami bertahan dan mengatakan akan bisa bertahan dan memperbaiki diri. 

Januari saya mendapat masalah di kantor, difitnah oleh anak buah saya sendiri, yang akhirnya membuat gaji saya tidak keluar di bulan Februari. Saat itu kondisi keuangan sudah mulai amburadul, Saya kembali menyarankan untuk menjual mobil itu, namun sekali lagi suami meminta untuk mempertahankan mobil itu dengan berbagai macam alasan, salah satu alasan, suami mengatakan bahwa ibu akan membantu. Lalu suami mengajak saya untuk berbicara kepada ibu. Saat saya dan suami bercerita ke ibu tentang permasalahan ini, ibu menawarkan bantuan untuk membantu pembayaran angsuran di bulan Februari itu. Saya dan suami mengira bantuan yang dimaksud adalah membayar semua angsuran sebesar 2.600.000, namun ternyata membantu yang ibu maksud adalah memberi tambahan 500.000. Jika ibu tahu, saat itu saya sudah menikah dengan anak ibu selama 4 bulan, dan selama 4 bulan itu jujur, pemasukan uang dari suami masuk hanya untuk pembayaran angsuran mobil saja, dan itupun masih kurang dan saya masih harus menambah dengan uang gaji saya. Dan jujur saat ibu menawarkan bantuan waktu itu, saya sangat bersyukur, karena walau suami nyatanya belum mampu, ibu masih bertanggung jawab untuk membantu kami.  Dan pada akhirnya kami tidak bisa membayar angsuran, dan ibu hanya memberi pinjaman 500.000, akhirnya saya meminta bantuan ke Bapak, dan bapak langsung mengirim kekurangan pembayaran angsuran sebesar 2.000.000. 

Saat itu saya masih memiliki tabungan pribadi sebesar Rp 20.000.000 jika titambah gaji saya yang akkhirnya keluar di bulan Maret total tabungan yang saya punya kurang lebih Rp 26.000.000. Per bulan Maret itu saya sudah tidak bekerja dan tidak berpenghasilan. Namun untuk catatan ibu, perbulan itupula saya dan suami hidup dengan uang tabungan pribadi saya, yang saya dapat, saya kumoulkan jauh sebelum menikah, yang sebetulnya itu menjadi hak saya pribadi. Suami memang bekerja, di grab waktu itu, namun sekalilagi saya sampaikan, uang pemasukan semuanya habis hanya untuk pembayaran angsuran mobil, yang nyatanya juga masih belum cukup dan tetap harus saya yang menambahi untuk pembayarannya. Dari bulan ini , bisa ibu membuat catatan, SAYA MEMANG TIDAK BEKERJA NAMUN SAYALAH YANG MENOPANG KELUARGA KECIL INI.  Saya hamil waktu itu, jika ibu tahu, semua biaya kontrol, obat dan segalanya menggunakan uang saya. Selama di rumah ibu kita juga memesan catering, itu juga dengan uang saya. Mulai dari bulan ini saya sudah meminta suami untuk mencari pekerjaan lain sebagai pegangan tetap, karena tidak mungkin bertahan hanya dengan tabungan saja. Namun suami bilang, menurut ibu yang terbaik adalah bertahan di grab, maka itu yang dijalankan.

Bulan Mei, urusan saya dengan kantor selesai dan uang pesangon sebesar Rp 13.000.000 keluar. Uang itulah yang saya gunakan untuk biaya persalinan. Suami saat saya minta pertanggungjawaban tentang biaya persalinan, dia me Sebelum persalinan, semua angsuran sudah saya bayarkan, baik rumah malang dan mobil, karena saya tidak mau diributkan masalah angsuran saat nanti anak saya lahir. Sekali lagi suami saya minta untuk mulai melamar kerja, kembali dia meminta bertahan di grab, yang nyatanya lima bulan terakhir tidak menghasilkan apa2.

Setelah anak kami lahir, tentunya kebutuhan bukan malah sedikit tapi semakin tinggi. Bulan pertama setelah lahiran, ibu meminta untuk diadakan acara selapan, saya yang tahu kondisi keuangan waktu itu, bukan menolak, namun memang tidak bisa, dan setahu saya selapan adalah tradisi masyarakat dan bukan perintah agama. Tapi karena ibu terus meminta wajib ada selapan, akhirnya saya sampaikan ke Bapak, dan akhirnya Bapak mengatakan agar selapan dilakukan oleh bapak di Malang, jadi tidak membani saya. 

Disaat seperti itu, saya semakin memaksa suami untuk segera bekerja, yang dijawab dengan dijualnya motor beat miliknya. Yang saat itu ibu menawarkan untuk membeli motor tersebut. Namun dengan syarat separuh hasil pembeliannya wajib digunakan untuk Aqiqah anak kami. Saya yang tau kondisi kami saat itu memaksa untuk menolak, Karena saat itu tabungan yang saya punya sanya tinggal 2 atau 3 juta. Bisa saja jika saat itu dipaksakan untuk dilakukan Aqiqah, namun saya kembalikan lagi, jika menurut agama, Aqiqah memang diwajibkan, namun saat orangtua mampu, dan bukan uang hutang dan juga bukan karena terpaksa. Jadi saya meminta untuk dijual keluar saja. Uang hasil penjualan motor dan sisa tabungan saya, habis untuk pembayaran angsuran rumah dan mobil di bulan Agustus dan September. Dan resmi uang kami akan habis di akhir September. Saya memaksa suami menjual mobil dan segera mencari kerja, paling lambat di akhir September. 

Suami mendapat panggilan kerja pertama di JnT, bagian kurir, namun dikarekana tidak ada gaji pokok, saya menyarankan tidak mengambilnya. Ibu menyarankan tetap mengambil, karena IPAR mengatakan tidak masalah jika mengambil pekerjaan itu. Saya bersikeras tidak diambil. Sampai akhirnya ada panggilan selanjutnya. Suami meminta restu ke ibu, yang berujung permintaan ibu untuk tetap bertahan di Grab. Dan suami bercerita tentang kondisi keuangan dan keinginan menjual mobil. Ibu saat itu mengatakan akan membeli mobil itu namun baru dapat membayar di bulan Januari. Saya bingung saat itu, disitulah saya bodoh, mengapa tidak menjual mobil keluar saja. Dengan bayangan bisa mempertahankan mobil karena dibeli oleh ibulah, akhirnya saya memutuskan menjual motor saya yang di Malang, yang kata ibu juga akan dibeli ibu. Hasil penjualan Rp 12.000.000 kami gunakan untuk pembayaran angsuran rumah dan mobil 2 bulan dari Oktober hingga Desember, gambaran saya Juanuari sudah mendapat uang dari ibu, dan bisa pelan2 menata kembali keuangan.

Di November ANAK sakit panas, 3 hari sampai akhirnya saya memutuskan harus k IGD, dengan kondisi tidak ada uang dan suami bartu dapat uang hari Selasa, sedang ANAK dari hari Kamis malam panas, tidak bisa tidur sampai akhirnya Minggu siang saya memaksa dibawa ke IGD. Suami pinjam uang ke ibu dengan janji akan dikembalikan hari Selasa, tapi ibu mengatakan tidak ada uang, yang saya tahu Selasa ibu ada acra reuni di Lamongan, itu hak ibu untuk mengatakan tidak ada uang atau tidak meminjami kami uang, tapi saat itu kondisi benar2 mendesak, dan saya benar2 tidak ada uang, penghasilan suami juga tidak cukup , saya menawarkan menelepon bapak, tapi suami menolak karena dia malu terus2 minta bantuan ke bapak, sedang ibunya sendiri tidak bisa memberikan bantuan. PAda akhirnya saya meminjam uang ke teman saya. Alhamdulilah diberi. Dan sujud syukur, saat dokter mengatakan bahwa beruntung kami tidak terlambat membawa ANAK kami ke dokter, karena panasnya disebabkan saluran kencing yang tersumbat, jika telat bisa menjadi ISK, yang itu bukan penyakit ringan bagi bayi. Dokter mengatakan akan ada observasi selama seminggu, jika panas lagi maka wajib sunat, saya inisitif menanyakan biayannya, yang katanya mencapai 8 juta. Bingung itu yang saya rasakan. Suami menceritakan hal ini ke ibu, jawaban ibu hanya gak mungkin jika itu terjadi, yang saya harapkan hanya bantuan dukungan, saya ceritakan ke bapak kondisi anak kami, bapak siap membantu mencari dana jika memang nanti harus sunat dsb, barulah saya bisa tenang. Alhamdulilah tidak terjadi apa2 selanjutnya. Kejadian di November itu selalu saya ingat sampai kapanpun, dimana anak saya sakit dan ibu tidak bisa membantu kami, saya mengingat hal ini bukan karena saya dendam dengan ibu, tapi sebagai pelecut bagi sya, motivasi bagi saya, SUPAYA JANGAN SAMPAI SAYA TINGGAL DI RUMAH IBU TANPA MEMEGANG UANG PRIBADI

Nyatanya semua batal, dan saya hancur di akhir tahun, suami pun tidak bisa diajak berfikir langkah apa yang harus diambil. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar